Dipuja ketika masih berjaya, ditelantarkan saat sudah tidak
berdaya. Barangkali itulah gambaran nasib sebagian mantan atlet nasional yang
pernah mengharumkan nama bangsa dan negara saat ini.
Cerita sedih dan memilukan itu juga menimpa salah satu atlet balap
sepeda nasional asal Surabaya, Jawa Timur, bernama Suharto. Dia kini berprofesi
sebagai penarik (tukang) becak.
Siapa sangka, mantan pebalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah
merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time
Trial" jarak 100 kilometer.
Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh, dan
Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari
Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.
Dua tahun sebelumnya, di SEA Games 1977 yang berlangsung di
Thailand, Suharto menyumbangkan dua medali perak untuk kontingen "Merah
Putih" dari nomor jalan raya beregu dan perorangan.
"Saat itu, tim balap sepeda Indonesia tampil cukup solid
sehingga bisa merebut medali emas," kata Suharto saat ditemui Antara di tempat kosnya di Jalan Kebon Dalem
VII, Surabaya, Selasa (30/8/11).
Ia menceritakan bahwa kekuatan balap sepeda Indonesia pada era
1970-1980-an cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.
Kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan Suharto.
Di kamar kos yang hanya berukuran 2 x 3 meter, Suharto menyimpan rapi seluruh
medali dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh dari berbagai ajang balapan
nasional dan internasional.
Bapak tiga orang anak itu juga mengumpulkan kliping berita dari
berbagai media cetak yang memuat keberhasilan tim balap Indonesia, termasuk
juga foto bersama Presiden RI Soeharto.
"Semuanya masih saya simpan dan sekali waktu kalau kangen,
saya buka lagi kliping-kliping itu," ujar pria kelahiran Surabaya pada 18
Februari 1952 itu.
Suharto menuturkan, ketika berhasil merebut medali di ajang SEA
Games, dia dan teman-temannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari
pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet nasional saat ini.
"Kami hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang
diserahkan Gubernur Jatim di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Waktu itu cuma
diajak makan-makan, tidak diberi uang saku," tambahnya.
Perkenalan pada cabang olahraga balap sepeda memang tidak
disengaja. Saat itu di awal tahun 1970-an, Suharto memulai latihan dengan
menggunakan sepeda "pancal" milik ayahnya yang dimodifikasi menjadi
sepeda balap.
Kendati tidak mendapatkan izin dari ayahnya, Suharto nekat
mengikuti lomba balap sepeda tingkat lokal Piala Wali Kota Surabaya dan tampil
sebagai juara. Setelah itu, Suharto yang seangkatan dengan mantan pebalap
nasional Sutarwi dan Sapari (keduanya dari Jatim) itu, bergabung dengan klub
balap sepeda Porseni Korpri Surabaya dan mengikuti beberapa balapan level
nasional.
"Saya dipanggil bergabung di tim nasional setelah mengalahkan
pebalap nasional pada kejuaraan di Jawa Barat sekitar tahun 1975. Kemudian saya
masuk tim SEA Games 1977," tuturnya.
Bersama sejumlah pebalap nasional, Suharto mendapatkan kesempatan
dari Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) mengikuti pemusatan
latihan di Swiss selama beberapa bulan. Setelah hanya merebut medali perak pada
1977, dua tahun berselang, Suharto akhirnya mampu mempersembahkan medali emas
untuk Indonesia.
"Saya memutuskan berhenti dari balapan pada tahun 1981,
karena tuntutan ekonomi. Apalagi, saat itu juga tidak ada janji apa-apa dari
pemerintah untuk diberikan pekerjaan," katanya.
Kerja serabutan
Setelah memutuskan gantung sepeda, nasib Suharto menjadi tidak
menentu. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan. Menjadi kernet
angkutan kota, membantu tetangganya berjualan ayam kampung atau berjualan alat
pendingin ruangan (AC) bekas, pernah dia jalani sebelum akhirnya menjadi tukang
becak hingga sekarang.
Bersama istrinya, ia hidup sangat sederhana dan berpindah-pindah
tempat kos. Sebelum menyewa kamar kos di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah
ditempati lebih dari 15 tahun, Suharto pernah kos di kawasan Sukodono,
Surabaya.
Sehari-hari dia kini menjadi penarik becak di sekitar kawasan
wisata religi Makam Sunan Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan
keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos,"
ujarnya.
Namun, hampir tiga bulan terakhir dia harus istirahat dari
rutinitas menarik becak, karena penyakit hernia yang dideritanya sejak dua
tahun lalu. Karena merasa tidak tahan dengan sakit yang terus menderanya,
Suharto memberanikan diri datang ke kantor KONI Jatim pada sekitar Mei 2011
untuk meminta bantuan.
Ketua Harian KONI Jatim, Dhimam Abror Djuraid, sangat terkejut dan
trenyuh mengetahui kondisi mantan atlet balap sepeda nasional itu. Apalagi,
saat datang ke kantor KONI Jatim, bagian perut Suharto diikat dengan bekas ban
dalam sepeda sebagai penahan rasa nyeri akibat penyakit hernianya.
"Saya dibantu Pak Abror untuk menjalani operasi pengangkatan
hernia. Sekarang kadang-kadang masih terasa sakit dan belum boleh bekerja berat
dulu," kata Suharto.
Abror mengatakan, pihaknya akan berupaya membantu Suharto untuk
mendapatkan penghargaan dari pemerintah, karena pernah memiliki prestasi
internasional.
"Pak Harto ini layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Dia pernah menjadi juara SEA Games, tapi sekarang hidupnya
memprihatinkan," ujarnya.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora) memiliki program pemberian hadiah rumah kepada mantan-mantan atlet
nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di pentas
internasional.
"Saya tidak pernah baca koran, jadi tidak tahu kalau ada
program rumah gratis bagi mantan atlet nasional dari pemerintah," tambah
Suharto.
Kendati sudah 30 tahun pensiun dari balap sepeda, Suharto masih
memiliki niatan untuk kembali menekuni olahraga yang pernah membesarkan namanya
itu.
"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih.
Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh,"
kata Suharto menutup pembicaraan.
sumber:kompas.com
0 comments:
Post a Comment