Meski Cacat Fisik, ''Mainan Anak Buatannya' Diekspor Ke Eropa & Amerika



Penderitaan anda pelajaran kehidupan. Namun bangkit dari penderitaan juga sebuah keniscayaan untuk meraih keberhasilan. Tarjono Slamet membuktikan bahwa penderitaan hidup bukan halangan untuk sukses.

Penderitaan adalah pelajaran kehidupan. Itulah yang dialami Tarjono Slamet, lelaki kelahiran Pekalongan 29 Desember 1972 ini.
Pada tahun 1990, Tarjono harus kehilangan kaki kirinya yang terpaksa diamputasi. Dia juga harus menerima kenyataan bahwa 10 jari tangannya tak bisa lagi digerakkan lantaran mengalami kerusakan syaraf.
Begitu lulus dari Sekolah Teknik Menengah (STM) tahun 1989, Tarjono diterima bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN) bagian instalasi. Ia ditugaskan di wilayah Klaten Jawa Tengah. Belum genap setahun bekerja, Tarjono dan dua orang temannya kesetrum listrik tegangan tinggi. Meski ketiganya selamat, semuanya mengalami cacat seumur hidup, termasuk Tarjono yang harus kehilangan kaki dan fungsi jari-jari tangannya.
Tarjono butuh waktu dua tahun lebih untuk mengembalikan rasa percaya dirinya. Meski sudah setahun belajar di Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) di Yogyakarta, dan mengikuti sejumlah pendidikan serta keterampilan khusus bagi orang cacat, semangat hidup Tarjono tak juga datang. “Saya butuh waktu yang lama untuk bisa bangkit,” katanya mengenang.
Kebersamaan dengan sesama penderita cacat akhirnya menggugah Tarjono untuk bangkit dari keputusasaan. Ia juga makin tekun menggeluti latihan keterampilan yang diajarkan di Yakkum. Bahkan, Tarjono sempat dikirim ke Selandia Baru, Australia, dan Belanda untuk mengikuti berbagai kursus termasuk pelatihan fund rising.
Sepulang dari Australia, Tarjono memutuskan memulai hidup baru menjadi enterpreneur dan pekerjaan sebagai staf Yakkum ditinggalkannya. Dengan bekal keterampilan yang dimiliki dan modal warisan serta uang sisa gaji, Trajono mendirikan CV Mandiri Craft yang memproduksi aneka macam kerajinan kayu seperti alat peraga pendidikan dan puzzle.
Tarjono merekrut 25 orang yang semuanya penyandang cacat sebagai karyawan. Tak banyak kesulitan saat memulai usaha karena mayoritas karyawannya adalah alumni Yakkum yang sudah dibekali keterampilan membuat aneka macam kerajinan.
Tidak heran jika kemampuan produksi CV Mandiri Craft juga cukup besar mencapai 650 unit per bulannya, jumlah yang setara dengan kapasitas produksi suatu perusahaan yang dikerjakan oleh tenaga tanpa cacat fisik.
Soal pemasaran, bukan masalah serius bagi Si Pembuat Mainan ini. Pengalaman pernah belajar fund rising ke Eropa dan Australia membuka jaringan pemasaran untuk barang produksinya. Sebagian besar produk Mandiri Craft memang dieskpor, utamanya ke Eropa dan Amerika.
Dengan pangsa ekspor itu, tak heran jika Tarjono mampu membayar semua karyawannya dengan upah di atas ketentuan pemerintah. Semua karyawan Mandiri Craft digaji di atas Upah Minimum Provinsi atau UMP.
“Ini sudah menjadi cita-cita saya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan teman-teman senasib. Saya ingin agar penyandang cacat bisa sejajar dengan orang normal,” katanya tegar.
Di saat usaha maju dan jumlah karyawan bertambah, musibah kembali datang. Gempa bumi 27 Mei 2006 mengancurkan seluruh peralatan pruduksinya. Satu kontainer barang produksi siap impor, hancur. Bahkan satu karyawannya meninggal.
Musibah ini menjadi tantangan tersendiri untuk Tarjono. Berat rasanya memulai dari nol kembali. Namun setelah trauma mereda, akal sehat Trajono kembali berjalan. Akibat gempa itu, kata dia, lebih dari 1.000 orang mengalami cacat fisik.
Mereka tentu butuh penghasilan untuk tetap bertahan hidup karena tak mungkin selamanya menggantungkan diri kepada orang lain. Atas dasar itu, Tarjono bertekad kembali membangun Mandiri Craft yang tinggal puing-puing itu.
Berbekal bantuan dari masyarakat Jepang dan negara lain, tahun 2007 Tarjono mulai merintis Mandiri Craft lembaran baru. CV Mandiri Craft ia bubarkan. Sebagai gantinya, ia mendirikan Yayasan Penyandang Cacat Mandiri. Usahanya tetap sama yaitu memproduksi aneka mainan dari kayu.
Tantang yang dihadapi saat ini adalah persaingan yang lumayan ketat dalam pemasaran produk. “Apalagi pasar ekspor, terutama Eropa masih terimbas kiris di sana,” ujarnya. Saat ini 80 persen produknya dijual untuk pasar Indonesia seperti ke Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali.
Masih rendahnya pasar ekspor membuat omset usaha saat ini menurun hingga sebesar Rp 50-an juta per bulan. Sementara saat pasar ekspor sedang bagus, Tarjono bisa membukukan omset hingga Rp 150 juta per bulan. “Menghadapi ini, kami berupaya melakukan efiseinsi, terutama dari sisi bahan utama dan bahan pendukung,” jelasnya.
Meski demikian, produk Yayasan Penyandang Cacat Mandiri tetap mengutamakan kualitas, baik dari sisi kayu maupun cat yang digunakan. “Kami menggunakan cat non tosik sehingga tidak membahayakan anak-anak. Dengan kualitas yang baik, pelanggan tetap setia pada produk kami,” jelas Tarjono.
Saat ini, yayasan itu memiliki 55 karyawan yang semuanya adalah penyandang cacat fisik. Mulai dari produksi, administrasi hingga keuangan, semuanya ditangani oleh karyawan yang difabel secara fisik. Tarjono yang menjabat sebagai manager, mempunyai dua lokasi workshop, yaitu di Jalan Parangtritis KM 7,5 di Jalan Parangtritis KM 9.
“Di Yogyakarta ini masih banyak penyandang cacat yang belum terakomodasi, apalagi setelah gempa 27 Mei. Saya ingin berbagi dengan mereka karena saya ingin kami para penyandang cacat ini sejajar dengan orang-orang normal lainnya,” kata Tarjono mantap.
Hidup dengan kondisi fisik terbatas tak menghalangi Tarjono untuk maju dan memajukan orang lain. ***

sumber:wirausahaindonesia.com

0 comments:

Post a Comment