Seorang teman mengajakku makan di rumah makan yang semua menu masakan terbuat dari ikan. Katanya ini rumah makan baru dan rasanya lumayan enak. Bagiku semua ikan rasanya hampir sama, sehingga tidak ada yang spesial. Apalagi sebetulnya aku kurang suka ikan sebab mempunyai pengalaman buruk tentang ikan. Kami makan sambil bercerita aneka hal. Ketika aku sedang makan dan mendengarkan temanku bercerita mataku menatap seorang bapak yang sudah beberapa lama berdiri sambil menatapku dari balik dinding kaca yang menjadi pembatas ruang makan dengan tempat parkir. Sebetulnya aku merasa tidak nyaman, sebab hatiku mengatakan ada yang aneh dari bapak itu. Aku ingin menyapanya tapi temanku terus bercerita.
Bapak itu sudah sangat tua. Menurut dugaanku usianya sekitar 70 th lebih. Tubuhnya kurus dibalut pakaian agak kumal. Sebuah topi agak lebar menutupi kepalanya. Dia berdiri sambil memegangi stang sepeda kumbang. Di belakang sepedanya ada dua buah tempat untuk berjualan. Aku menduga bapak itu sedang berjualan. Tapi mengapa sejak tadi hanya berdiri sambil menatapku? Apakah itu hanya perasaanku belaka? Beberapa kali aku mencoba menatapnya. Bapak itu seperti sebuah patung yang tidak bergerak. Wajahnya tampak kelelahan dan sedih.
Setelah selesai makan aku dan temanku menuju tempat parkir. Mobil kami tidak jauh dari bapak tua itu berdiri. Ketika aku akan masuk mobil bapak itu masih menatapku seolah ada sesuatu yang hendak dia katakan. Aku mengajak temanku untuk membeli daganganya. Dia ternyata menjual beberapa macam kue. Aku membeli beberapa buah. Sambil lalu aku tanya mengapa dia terus menerus menatapku? Bapak itu mengatakan bahwa ban sepedanya meletus dan dia tidak dapat berjualan lagi. Kulihat ban belakang sepedanya kempis. Sekarang aku tahu bahwa sebetulnya bapak itu membutuhkan bantuan uang untuk membeli atau menambal ban sepedanya yang meletus.
Bapak penjual donat itu adalah gambaran sebagian dari masyarakat miskin negara kita. Mereka menghadapi kesulitan dalam hidupnya tapi tidak tahu harus bagaimana menyelesaikanya. Mereka tidak tahu harus kemana dan kepada siapa untuk meminta pertolongan yang sangat dibutuhkan saat itu. Pemerintah mengatakan ada bantuan untuk usaha mikro tapi orang semacam bapak itu sulit untuk mendapatkan fasilitas pinjaman yang membutuhkan syarat tidak sedikit. Belum lagi mereka kadang kala di ping pong oleh orang yang memiliki kuasa. Akhirnya mereka hanya mampu diam. Tidak mampu mengungkapkan penderitaannya, sehingga hanya mampu menatap. Mereka adalah masyarakat yang tidak mampu berkata-kata atau dibisukan oleh situasi hidup.
Kebisuan masyarakat ini dapat dianggap bahwa mereka tidak mempunyai masalah. Kemiskinan mereka yang tidak terungkapkan dianggap tidak ada. Maka setiap tahun pemerintah mengeluarkan data bahwa angka kemiskinan di negara kita semakin berkurang. Bila angka kemiskinan setiap tahun berkurang seharusnya negara kita telah menjadi negara yang makmur. Tapi kenyataannya kaum miskin semakin banyak dan kemiskinan menjadi semakin kompleks. Maka perlu melihat kemiskinan bukan hanya berpedoman dari data melainkan juga dari situasi di lapangan. Berusaha mendengar suara orang yang tidak mampu bersuara.
Bapak penjual donat itu hanya berdiri diam dan melihat. Mungkin di dalam hatinya berharap ada orang yang mau membantu untuk memperbaiki sepedanya, sebagai alat untuk menyambung hidup. Aku dapat melaluinya begitu saja, sebab tidak mendengar dia meminta uang. Ketika aku beli donatnya pun dia hanya menatapku. Setelah aku bertanya-tanya baru dia bercerita bahwa ban sepedanya meletus. Dia hanya bercerita. Tidak meminta belas kasih. Aku harus tahu sendiri apa yang harus kulakukan. Kita perlu menafsirkan sikap diam kaum miskin. Menafsirkan ini membutuhkan empati atau menempatkan diriku pada posisinya saat itu. Sikap inilah yang sering kali diambaikan sehingga aku dapat berlalu begitu saja meski ada orang miskin di depanku.
0 comments:
Post a Comment