Bagaimana Mengatasi Sifat Egoistis?



Dalam masyarakat modern sering terjadi suatu tendensi, di mana kehidupan manusia terlalu individualistik. Masing-masing hanya mementingkan dirinya sendiri. Dengan istilah lain manusia terlalu egoistis. Melalui ruangan ini kita akan membahas tema tersebut, dengan maksud supaya kita lebih mengenal diri kita sendiri dan mengetahui untuk siapa kita hidup.

Perkembangan karakter seseorang
Egosentristik adalah ciri-ciri khas yang terdapat dalam karakter seseorang pada masa kanak-kanak. Kehidupan seorang bayi secara total tergantung pada ibunya. Dunia yang dikenalinya sangat sempit, seolah-olah dialah pusat seluruh dunia. Dia "expert" dalam hal menerima, tanpa memberikan sesuatu kepada orang lain; dia membutuhkan kasih, tetapi tidak tahu bagaimana mengasihi.
Dalam proses pertumbuhan, lambat laun ia meninggalkan masa kanak-kanak dan memasuki masa muda, kemudian bertumbuh menjadi dewasa. Semakin luas lingkungan yang ia kenal, dan reaksi manusia yang semakin ruwet, menyebabkan ia meninggalkan dunia egosentrisnya, serta menjadi dewasa dalam pandangan dunia yang objektif.
Tetapi bukannya setiap orang lancar dalam pertumbuhan jiwa yang sedemikian. Banyak orang harus mengalami lebih banyak pelajaran dan kesukaran, barulah menjadi dewasa.
Kita yakin bahwa dalam dunia tidak ada orang yang 100% bebas dari ikatan ke 'aku'annya. Tetapi yang kita bahas di sini adalah sifat ke'aku'an yang ekstrim. Orang yang sedemikian tidak dapat menikmati rahmat kehidupan yang dikaruniakan oleh Tuhan.

Penderitaan seorang yang egoistis
Orang yang terlalu egoistis bagaikan hidup dalam ruangan yang dikelilingi dengan cermin. Setiap gerak-gerik dan tingkah lakunya, hanya memantulkan dirinya sendiri. Misalnya, ia selalu menilai persahabatan dengan keuntungan yang dapat diperoleh. Bahkan motif berpacaran pun bukan haus akan cinta kasih, tetapi hanya untuk memuaskan kebutuhannya.
Mereka sangat gemar dipuji dan terlalu sensitif terhadap perkataan orang lain. Ia sering tidak dapat tidur karena memikirkan perkataan orang lain. Kekawatiran terhadap hari depan selalu menekan hidupnya. Mereka selalu menderita tanpa damai sejahtera Tuhan.
Adakah orang-orang yang demikian di kalangan umat Tuhan? Inilah contohnya: Pada suatu hari Jerry mengatakan: "Aku senang ke gereja kalau aku sedang kesepian atau lagi nganggur." Perkataan yang singkat ini telah menyatakan sifat Jerry yang egoistis. Hubungannya dengan Tuhan didasarkan atas kepentingan diri sendiri. Dia tidak rela mengorbankan sedikit waktu bagi Tuhan.
Sifat egois merupakan perangai lama yang harus kita tanggalkan (Efesus 4:22).

Contoh-contoh dalam Alkitab

Banyak tokoh dalam Alkitab yang segenap hidupnya diabdikan kepada Tuhan dan sesama manusia. Misalnya Mordekhai, seorang pahlawan dalam sejarah bangsa Israel. Ia tidak mementingkan hidupnya sendiri, dengan berani mengambil resiko yang besar untuk menyelamatkan bangsanya.

Contoh yang lain adalah rasul Paulus, semua pengabdiannya kepada Tuhan dapat diungkapkan dalam Galatia 2:20 "namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku." Paulus pun menganjurkan supaya kita "Bertolong-tolonganlah menanggun beban" (Gal 6). Di dalam Injil Lukas Tuhan Yesus mengutarakan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Luk 10:33-37). Orang Samaria ini telah memberikan teladan yang baik dalam hal mengulurkan tangan membantu orang lain. Hal ini akan tercapai kalau kita tidak mengunci diri dalam ruangan yang dikelilingi cermin, tetapi kita menggantikan cermin ini dengan kaca tembus pandang. Melalui kaca ini kita dapat menikmati dan menilai dunia luar dengan lebih objektif. Kita dapat mengetahui kebutuhan orang lain dan kita dapat mempelajari kebaikan orang lain.
Tuhan Yesus berkata:

"Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu ..Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat 22:37-39). ***

0 comments:

Post a Comment