Gereja Dan Kepekaan Sosial



Akhir tahun 1400-an sampai awal tahun 1500-an adalah era ketika dua gedung gereja terkenal di Eropa, Basilika Santo Petrus (St. Peter’s Basilica) dan Kapel Sistina (Sistine Chapel) dibangun atau dipugar dalam segala kemegahannya melalui tangan seniman agung seperti Michelangelo dan Raphael. Sayangnya, seringkali itu dilakukan dengan membebani jemaat. Termasuk melalui malpraktek penjual-belian surat pengampunan dosa (indulgence) oleh beberapa pemimpin gereja.

Padahal masa itu adalah juga masa yang berat bagi banyak penduduk Eropa. Peperangan antar raja-raja di Eropa menyisakan penderita besar dalam hidup masyarakat. Keruntuhan kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) dan ekspansi kerajaan Ottoman juga menimbulkan keresahan tersendiri di sana. 

Kekontrasan yang menyedihkan itu mengusik hati banyak orang untuk mengambil tindakan. Di Jerman, Martin Luther menyuarakan protesnya dengan 95 Tesisnya pada tanggal 31 Oktober 1517. Di Swiss, beberapa tahun kemudian, Zwingli mengambil tindakan drastis untuk mengubah biara-biara di beberapa daerah di Swiss menjadi rumah sakit dan organisasi sosial untuk kesejahteraan masyarakat. 

Hingga kini praktek ketidakpekaan gereja kepada kondisi sosial jemaat dan masyarakatnya masih kerap terjadi. Misalnya di tengah daerah perkampungan miskin, sebuah gedung gereja berdiri megah dengan menyolok. Di tempat lain, sementara jemaatnya sedang menderita akibat bencana alam, sebuah gereja malah membuat proposal miliar rupiah semata-mata untuk merenovasi gedung gerejanya.

Padahal Gereja ada bukanlah untuk mendirikan gedung-gedung yang megah, tetapi untuk menjadi saksi Kristus. Yaitu Kristus yang meninggalkan kemuliaan surgawi dan memilih mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:5-8), dilahirkan di sebuah keluarga yang bahkan menemukan tempat melahirkan yang layak pun tidak mampu (Lukas 2:1-7). Kristus yang merendahkan diri-Nya untuk menjadi sama dengan kaum yang tertindas. Kristus yang peduli, hidup bersama dan melayani mereka.

Oleh karena itu, Gereja pun seharusnya hidup seperti Dia. Gereja harus bisa mengidentifikasi diri dengan dan melayani mereka yang miskin, kesusahan, tertindas dan teraniaya (Matius 25:31-46), bukan untuk membangun gedung-gedung yang megah untuk mereka kagumi. Gereja ada di dunia ini untuk membuktikan kepada semua orang bahwa kasih Allah juga tercurah kepada mereka yang dipinggirkan, bukan hanya kepada mereka yang hidup dalam kemakmuran. Gereja dipanggil untuk mengusahakan keseimbangan kemakmuran, bukan memperdalam jurang ekonomi (2 Korintus 8:13-15). Dan kita yang adalah anggota Gereja, harus memperjuangkan dan mengusahakan agar gereja kita hidup seperti itu.

GEREJA (JEMAAT TUHAN) HARUS BERADA DI TENGAH MASYARAKAT, BUKAN MENJADI KUMPULAN YANG EKSKLUSIF DI DALAM GEDUNG GEREJA. 
 
LEBIH BERHARGA SATU PERBUATAN, DARIPADA BERIBU RIBU KATA KHOTBAH TANPA PERBUATAN

0 comments:

Post a Comment